Bukan Khittah, Tapi Jatah: PBNU Terbelah Dua Karena Skema Tambang dan Warisan Era Politik

editorial.id

Di tengah hiruk-pikuk pencabutan status Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), justru dibedah tuntas. Dalam sebuah analisis pedas yang dimuat rmol.id, Erizal, Direktur ABC Riset & Consulting, membongkar bahwa krisis kepemimpinan ini sejatinya adalah duel kekuasaan antara Gus Yahya dan Sekjen Saifullah Yusuf (Gus Ipul).

Analisis ini menyimpulkan bahwa perseteruan ini lebih didominasi oleh isu tata kelola keuangan dan konsesi tambang, bukan semata masalah moral atau kepemimpinan.

Baca juga: Ambil Kendali Penuh, Rais Aam PBNU Pastikan Status Gus Yahya Sebagai Ketua Umum Berakhir

Analisis Erizal mengutip petinggi PBNU, Ulil Abshar Abdalla, yang menyatakan bahwa alih-alih menyelesaikan masalah secara bermartabat, Syuriyah (lembaga tertinggi NU) justru bertindak di luar koridor. Ulil mempertanyakan mengapa masalah ini tiba-tiba sampai pada pemecatan tanpa klarifikasi.

"Syuriah dinilai sudah zalim bila melakukan hal itu, karena memang berada di luar kewenangannya," ujar ulil dikutip dari keterangan Erizal.

"Lembaga Syuriah dalam pandangan Ulil hanya mendengarkan satu pihak saja dari Sekjen, sementara dari Ketum tak didengarkan, bahkan untuk klarifikasi pun tak diberikan kesempatan. Lembaga tertinggi seperti Syuriyah seharusnya tak melakukan hal itu, menurut Ulil. Harusnya dilakukan tabayun,” tambanhnya.

Faktor utama yang menggerus idealisme organisasi, menurut Ulil yang dikutip Erizal, adalah isu material.

Baca juga: Strategi Balasan: Gus Yahya Rombak Total Jajaran Sekjen dan Bendahara di Tengah Gejolak Internal

"Agaknya masalah hubungan dengan jaringan Zionis Internasional hanyalah masalah pembuka saja. Masalah utamanya adalah masalah tata kelola keuangan. Masalah tambang juga bagiannya, kini muncul lagi soal dana 100 miliar hasil korupsi," tegas ulil dalam keterangan Erizal.

Perseteruan ini juga memiliki akar politik yang dalam, di mana NU menjadi arena pertarungan kepentingan pusat, Gus Yahya dianggap mewakili kepentingan era Jokowi (Pihak ketiga era Jokowi tidak bisa dipertahankan karena posisi politik) sedangkan Gus Ipul dianggap mewakili kepentingan era Prabowo (Gus Ipul dianggap sudah datang dengan pihak ketiga yang baru dan harus dialah yang mengelola).

"...soal tambang yang membuat NU dilematis. Kalau ditolak bisa dianggap NU melawan pemerintah, tapi kalau diterima bisa membuat NU berpecah," tambahnya.

Baca juga: Strategi Balasan: Gus Yahya Rombak Total Jajaran Sekjen dan Bendahara di Tengah Gejolak Internal

Saking peliknya, Ulil mengisyaratkan solusi ironis, Ulil setuju saja kalau konsesi tambang jatah NU itu dikembalikan saja kepada pemerintah, kalau itu akan membuat PBNU berpecah.

Konflik ini terbukti tidak mereda. Setelah Syuriyah menetapkan status Gus Yahya dicabut, Gus Yahya membalas dengan memecat Gus Ipul dari Sekjen dan beberapa orang penting lain dengan alasan penyegaran.

Inilah ironi terkelam organisasi yang seharusnya menjadi benteng umat, kini harus memilih antara kepentingan politik nasional atau kehormatan Khittah, yang sayangnya, terancam oleh jatah tambang.

Editor : Redaksi

Hukum
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru