Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, mengajukan rencana pembangunan 40 sekolah rakyat kepada Kementerian Sosial Republik Indonesia. Dari 40 sekolah yang diusulkan, 38 sekolah akan dibangun di kabupaten/kota, sedangkan dua sekolah lainnya akan dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem di seluruh wilayah Jawa Timur.
Khofifah menjelaskan bahwa ia akan membahas secara mendalam teknis pelaksanaan program tersebut bersama dengan Menteri Sosial, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Menteri Desa, serta Menteri Koperasi. Pembahasan tersebut bertujuan untuk memastikan keberlanjutan dan kelancaran implementasi program sekolah rakyat di provinsi ini.
Namun, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Jairi Irawan, menyampaikan pandangan berbeda mengenai persoalan pendidikan di Jawa Timur. Ia menilai bahwa masalah utama pendidikan di provinsi ini bukan hanya pada kekurangan satuan pendidikan, tetapi lebih pada perbaikan tata kelola dan manajemen yang masih belum optimal. Menurut Jairi, persoalan terbesar adalah bagaimana memperbaiki sistem pengelolaan pendidikan dan memastikan guru yang sudah memasuki masa pensiun segera digantikan dengan tenaga pendidik yang berkualitas.
“Persoalan pendidikan kita saat ini bukan pada kurangnya satuan pendidikan, melainkan pada tata kelola dan manajemen. Bagaimana guru yang sudah memasuki masa pensiun segera mendapatkan pengganti melalui pola perekrutan yang tepat dan berkualitas?” ungkap Jairi Irawan, Kamis (06/03/2025).
Jairi yang juga politisi Partai Golkar menekankan bahwa anak-anak dari keluarga kurang mampu seharusnya tidak dipisahkan di sekolah-sekolah yang terpisah dengan fasilitas dan kurikulum yang berbeda. Ia menginginkan adanya sekolah inklusi yang dapat diakses oleh semua anak, baik dari keluarga kaya maupun miskin, tanpa ada pemisahan berdasarkan status ekonomi.
“Kita memerlukan sekolah inklusi yang dapat dinikmati oleh semua anak, baik yang berasal dari keluarga kaya maupun miskin. Anak-anak tidak harus dipisahkan berdasarkan status ekonomi mereka,” ujarnya.
Lebih lanjut, Jairi juga menyoroti pentingnya peran organisasi masyarakat (ormas) dan lembaga keagamaan yang telah terbukti berkontribusi dalam pemberdayaan pendidikan di tingkat akar rumput. Ia percaya ormas seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, serta lembaga keagamaan lainnya memiliki potensi besar untuk berkolaborasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus mendirikan sekolah baru yang terpisah.
“Kita memiliki ormas yang concern terhadap pendidikan. Mereka sudah menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat dengan baik, dan seharusnya bisa dilibatkan dalam program ini,” tambahnya.
Menurut Jairi, pemerintah juga perlu melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan, termasuk perbaikan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman, penyempurnaan sistem perekrutan guru, serta peningkatan tunjangan dan gaji para pendidik. Ia juga menekankan pentingnya fasilitas pendidikan yang layak dan memadai di setiap satuan pendidikan, terutama di wilayah terluar.
"Tidak hanya itu, fasilitas satuan pendidikan harus dipenuhi dengan standar yang layak dan mumpuni. Di wilayah terluar, misalnya, guru-guru terbaik harus dikirim dengan gaji yang sesuai, dan jika belum ada sekolah, harus segera dibangun fasilitas yang dapat diakses setiap hari oleh anak-anak,” jelasnya.
“Yang kita inginkan adalah sekolah yang inklusif, di mana semua anak dapat belajar bersama-sama tanpa ada diskriminasi. Itulah yang harus kita perjuangkan,” pungkasnya.
Dengan rencana pembangunan 40 sekolah rakyat tersebut, diharapkan akan ada peningkatan signifikan dalam akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin di Jawa Timur. Namun, pengelolaan yang baik dan pemerataan kualitas pendidikan tetap menjadi tantangan yang perlu diselesaikan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk ormas dan lembaga keagamaan yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan.
Editor : Budi Prasetyo