x editorial.id skyscraper
x editorial.id skyscraper

Dua Nakhoda PBNU, Denny JA: Tiga Skenario Masa Depan Nahdlatul Ulama

Avatar
M. Kosim
Kamis, 11 Des 2025 23:06 WIB
Politik

Editorial.ID - Nahdlatul Ulama (NU), rumah spiritual bagi puluhan juta jiwa, kini berada di persimpangan sejarah yang genting. Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini didera dualisme kepemimpinan yang memicu bukan hanya sengketa administratif, melainkan sebuah kegelisahan moral yang mendalam di tingkat umat. Pertanyaan yang bergema adalah Siapa sesungguhnya yang memimpin PBNU hari ini?.

Ketegangan ini bermula dari klaim berseberangan antara KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum sebelumnya yang menilai pencopotannya cacat prosedur, dengan KH Zulfa Mustofa, Penjabat (Pj) Ketua Umum yang baru ditetapkan dan meyakini legitimasinya berdasarkan rapat pleno Syuriyah. Dua tokoh karismatik, dua klaim keabsahan, telah menciptakan kabut tebal yang mengancam keutuhan jam’iyah.

Konflik kepemimpinan bukanlah hal baru bagi NU. Denny JA mengingatkan pada Muktamar Situbondo 1984, di mana kearifan para kiai sepuh berhasil membawa NU kembali ke Khittah 1926 yaitu ruh moral dan sosial, menjauh dari politik praktis sempit. Konflik saat itu menjadi pintu pembaruan.

Namun, drama kali ini memiliki lapisan baru yang jauh lebih sensitif dan destruktif nuansa kepentingan sumber daya alam.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern NU, publik mendengar desas-desus tentang konsesi tambang yang dikaitkan dengan tokoh tertentu," papar Denny JA dalam halaman pribadinya, Kamis (11-12-2025).

Isu ini, meskipun belum terverifikasi, menyebar dan menciptakan warna konflik yang lebih gelap. Jika NU terseret dalam pusaran kepentingan material, ia berisiko kehilangan otoritas simbolik yang selama ini menjadi kekuatan terbesarnya otoritas yang membuatnya didengar karena kebijaksanaan, bukan karena kekayaan atau kekuasaan.

Konflik PBNU hari ini, tegas Denny JA, adalah ujian integritas moral di tengah menguatnya politik sumber daya alam di Indonesia.

Denny JA merumuskan tiga jalur potensial yang akan menentukan apakah NU akan kembali menjadi jangkar bangsa atau terbelah menjadi faksi-faksi yang saling meniadakan.

Pertama, Rekonsiliasi, Islah (Jalan Penyembuhan), Ini adalah jalan keluar yang didambakan. Dalam sebuah pertemuan yang dipimpin para kiai sepuh, kedua kubu duduk sebagai pelayan jam’iyah, bukan rival. Ego mereda, dan solusi bijak lahir NU menyegerakan Muktamar Istimewa yang diterima semua pihak.

"Di jalan ini, NU kembali pada Khittah menjadi mercusuar moral bangsa, bukan sekadar aktor di panggung kekuasaan. Suara PBNU kembali bulat, wibawanya pulih..." ungkap Denny JA dalam tulisannya.

Skenario Kedua, dualisme Sementara (Jalan Kabut), Dualisme dibiarkan menggantung, menciptakan ketidakpastian. Meskipun tetap berdiri, suara NU akan serak, wibawanya meredup, dan arahnya kabur.

"Harga yang dibayar adalah hilangnya momentum moral: nasihat PBNU tak lagi sekuat dulu, karena publik melihat organisasi yang tak selesai dengan dirinya sendiri," terangnya.

Para pengurus cabang dan ranting akan terus menunggu kepastian, terombang-ambing di tengah dualisme legitimasi.

Ketiga, dualisme Permanen (Luka Abadi), Ini adalah skenario paling gelap. Konflik tak mereda, dua kubu mengeras dan bahkan berpotensi membentuk NU tandingan. NU akan terbelah, berdiri seperti pohon tua yang rapuh.

"Jika NU retak, retak pula salah satu fondasi kedamaian sosial dan Islam moderat Indonesia," tambahnya.

Perpecahan yang berlarut-larut akan menghilangkan bukan hanya kesatuan organisasi, tetapi juga kepercayaan publik yang telah dibangun puluhan tahun.

Denny JA juga memperingatkan Konflik PBNU hari ini adalah tentang keutuhan tradisi dan moralitas jam’iyah yang selama ini menjadi jangkar bagi umat. Sejarah telah mencatat bahwa NU selalu mampu menemukan cahayanya kembali, tetapi itu hanya terjadi ketika para pemimpinnya memilih persatuan di atas ego, kedewasaan di atas ambisi, dan Khittah di atas manuver sesaat.

"Sebab NU, seperti mata air tua di tengah padang. Ia hanya dapat menghidupi bangsa bila ia tetap satu aliran. Ketika pecah menjadi dua, airnya tak lagi menghilangkan dahaga, hanya menyisakan retakan di tanah," tutup Denny JA.

Editor : M. Kosim

Artikel Terbaru
Kamis, 11 Des 2025 21:38 WIB | Hukum
Editorial.ID - Maraknya kasus penipuan digital memasuki babak baru dengan munculnya modus "Kode QR Palsu" yang kian canggih. Modus ini dilaporkan mampu meniru ...
Kamis, 11 Des 2025 21:22 WIB | Pariwisata
Editorial.ID - Unggahan terbaru dari pemain Tim Nasional Indonesia, Asnawi Mangkualam, menjadi sorotan publik setelah ia memposting klarifikasi panjang ...
Kamis, 11 Des 2025 17:19 WIB | Hukum
Editorial.ID - Rentetan tragedi yang menyertai program Makanan Bergizi Gratis (MBG) mencapai puncaknya. Setelah berulang kali dihantam isu keracunan massal dan ...