Sampah kayu gelondongan banjir bandang di Tapanuli Selatan. (Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar)
Editorial.ID - Pulau Sumatera bagian utara kini menyerupai lembaran luka. Setelah diterjang banjir bandang dan tanah longsor yang bertubi-tubi, tiga provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terjebak dalam krisis yang melumpuhkan. Di tengah desa-desa yang rata dan akses yang terputus, perdebatan sengit muncul di tingkat pusat, mengapa pemerintah menahan diri menetapkan status Bencana Nasional?
Hingga Minggu (30/11) malam, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melukiskan tragedi yang sulit diterima total korban meninggal telah mencapai 442 jiwa, sementara 402 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Angka ini, yang terus meningkat, menjadi landasan moral utama bagi para legislator dan tokoh agama untuk menuntut respons yang lebih keras dan terpusat dari Jakarta.
Pada Senin (1/12/2025), Presiden Prabowo Subianto bergerak cepat, meninjau langsung lokasi bencana di Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) dan Kutacane (Aceh). Kunjungan itu mencakup dapur umum, posko BASARNAS, hingga kegiatan trauma healing.
Namun, di tengah puing-puing, fokus utama Presiden bergeser pada isu logistik yang genting BBM yang menipis.
"Kita sekarang prioritas bagaimana bisa segera kirim bantuan-bantuan yang diperlukan terutama BBM yang sangat penting," tegas Prabowo dikutip dari detik.com, menjanjikan pengerahan kapal besar di Sibolga dan pesawat Hercules untuk mengirimkan bantuan vital.
Meskipun upaya bantuan dikerahkan, lambannya penetapan status darurat nasional menjadi sorotan tajam.
Kritik pedas datang dari berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri (F-PDIP), mendesak pemerintah untuk serius mempertimbangkan status Bencana Nasional.
Fikri berargumen bahwa indikatornya sudah terpenuhi, dampak bencana sudah meluas, korban jiwa dan kerugian materiil signifikan, dan kemampuan daerah sudah menurun drastis untuk penanganan mandiri. Penetapan status ini secara konstitusional akan membebaskan mobilisasi sumber daya dan anggaran nasional yang lebih besar dan cepat.
Senada, Ketua Umum MUI, KH Anwar Iskandar, meminta musibah ini segera diakui sebagai Bencana Nasional, menyoroti kehancuran total infrastruktur.
"Banyak daerah bencana... yang meluluhlantakkan seluruh infrastruktur seperti jalan, jembatan, rumah penduduk, gedung sekolah, hingga tempat peribadatan," ujarnya.
Kondisi di lapangan semakin diperburuk oleh terputusnya akses transportasi dan komunikasi, yang menjadi hambatan besar bagi evakuasi dan pengiriman logistik.
Akibat kelangkaan pasokan yang kritis, situasi darurat memicu insiden yang memprihatinkan. Beberapa warga dilaporkan terpaksa melakukan penjarahan di toko dan gudang Bulog. Realitas ini menjadi alarm darurat yang menunjukkan bahwa krisis telah melampaui bencana alam; ini adalah krisis kemanusiaan yang menuntut intervensi tertinggi negara.
Keputusan pemerintah untuk menunda status bencana nasional kini tidak hanya berdampak pada birokrasi, tetapi secara langsung mempengaruhi ratusan ribu jiwa yang berjuang di tengah keterbatasan pasokan dan logistik. Perhatian kini tertuju pada seberapa cepat Jakarta akan merespons desakan dari berbagai elemen ini.
Editor : Redaksi