Fenomena fatherless atau hilangnya peran ayah dalam kehidupan anak menjadi perhatian serius Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Puguh Wiji Pamungkas. Ia menilai tingginya angka fatherless di Jawa Timur dan Indonesia secara umum merupakan persoalan sosial yang harus segera ditangani secara kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat.
“Angka fatherless di Jawa Timur yang cukup tinggi ini menjadi potret yang membutuhkan perhatian serius. Pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/kota perlu mengambil langkah taktis dan strategis yang bersifat holistik, bekerja sama dengan ormas dan kelompok masyarakat lainnya. Isu fatherless harus terus digaungkan agar tumbuh menjadi kesadaran bersama, terutama di kalangan para orang tua,” ujar Sekretaris Fraksi PKS Jatim ini.
Menurut data UNICEF tahun 2021, sekitar 20,9 persen anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Data ini diperkuat oleh hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Maret 2024, yang menyebutkan ada sekitar 15,9 juta anak di Indonesia mengalami fenomena fatherless. Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak hidup tanpa ayah secara fisik, sementara 11,5 juta anak memiliki ayah yang terlalu sibuk bekerja lebih dari 60 jam per minggu sehingga jarang berinteraksi dengan anak.
Fenomena ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan angka fatherless ketiga tertinggi di dunia.
Puguh menjelaskan bahwa kondisi tersebut menjadi sinyal bahaya bagi kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan, terutama bagi provinsi Jawa Timur yang merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Indonesia.
“Keutuhan dan kekuatan bangsa ditentukan oleh keluarga yang utuh dan peran ayah yang hadir. Jika ayah tidak dirasakan, baik secara fisik maupun emosional, maka ketahanan keluarga dan bangsa ikut terancam,” tegasnya.
Lebih lanjut, Puguh menjelaskan bahwa fatherless tidak hanya terjadi karena ketiadaan fisik ayah, tetapi juga karena jarak emosional antara ayah dan anak. Banyak ayah yang secara fisik hadir di rumah, namun tidak terlibat dalam pengasuhan maupun kedekatan emosional dengan anak-anaknya.
“Fenomena ini sangat berpengaruh pada perkembangan karakter anak. Banyak penelitian menyebut anak yang tumbuh tanpa figur ayah cenderung lebih agresif, mudah depresi, dan berisiko mengalami masalah sosial seperti kenakalan remaja hingga penyalahgunaan narkoba,” jelasnya.
Puguh menekankan bahwa dalam menyongsong era Indonesia Emas 2045, kesiapan generasi muda menjadi faktor utama keberhasilan bangsa. Karena itu, memperkuat peran ayah dalam keluarga menjadi investasi penting dalam pembangunan karakter bangsa.
“Gerakan Ayah Kembali ke Rumah bisa menjadi langkah nyata. Kehadiran ayah di rumah bukan hanya memberikan rasa aman dan kasih sayang, tetapi juga membentuk daya juang dan karakter anak,” ujarnya.
Momentum Hari Ayah Nasional yang diperingati setiap 12 November, menurutnya, menjadi saat yang tepat untuk membangun kembali kesadaran bersama tentang pentingnya figur ayah dalam keluarga.
“Kita harus sadar bahwa masa depan bangsa ada di tangan anak-anak kita. Memberikan waktu, kasih sayang, dan teladan terbaik kepada mereka adalah bentuk cinta sejati seorang ayah kepada bangsa,” pungkasnya," jelasnya.{
Editor : Budi Prasetyo